Kerajaan Talaga Manggung

Created All Sumber : Team CTC  ___________________________________________________________ [1]

kerajaan-Talaga-Manggung
in Sangiang city


Kerajaan Talaga Manggung Pada kira-kira zaman abad sebelum ke 15, kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu kerajaan, yang terletak di Kabupaten Majalengka, bertahta bernama Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Raja Prabu Siliwangi, kerajaan di Sangiang. Dia mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama Raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Simbar Kencana. Raden Panglurah tidak ada dikeraton sedang melakukan tetapa di Gunung Bitung sebelah selatan Talaga. Ratu Simbar Kencana mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama Palembang Gunung, berasal dari Palembang. Patih Palembang Gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya Sunan Talaga Manggung.
Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama Citra Singa, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang. Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar kenaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu. Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, dia diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “Biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka.” Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit anggota badannya sampai ia mati.
Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada, hilang dengan seisinya, hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan Situ Sangiang Talaga. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi raja di Talaga.
Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang memberitahukan kepada Ratu Simbar Kencana, bahwa kematian ayahandanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapatkabar itu maka Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya..
Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya, digorok, oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga. Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan. Sedatangnya ke sangiang dia merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya nampak situ saja dan setelah dia mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (Desa Kagok).
Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayahandanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri, dan dia akan menyusul ayahandanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, dia menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut dia beserta pengiringnya turun ke situ sangiang dan turut menghilang.
Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya Sunan Parung. Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantra putranya Raden Munding Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Pajajaran. Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari agama Budha, yang dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah.
Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti Prabu Pucuk Ulum. Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama Sunan Wanak Prih yang akhirnya menjadi raja bertempat di Walang Suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Prih mempunyai putra Ampuh Surawijaya Sunan Kidak.
Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada Ampuh Surawijaya dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.
Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama Sunan Pangeran Surawijaya, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada putranya Dipati Suarga. Dari putra Dipati Suarga diturunkan kepada putranya Dipati Wiranata. Kemudian kerajaan itu diturunkan kepada putranya bernama Raden Saca Eyang hingga abad ke tujuh belas. Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi Kabupaten. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama Aria Secanata. Setelah itu Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih. Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati, Raden Sacanata menolak sampai dia pada waktu itu dipensiunkan. Dia mempunyai putra bernama Pangeran Sumanegara. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama Nyi Raden Angrek dan mempunyai suami bernama Kertadilaga putra pangeran Kartanegara, Kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai putra bernama Natakusumah di Cikifai Talaga, sampai sekarang keturunanya masih ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga.
Barang-Barang kuno tersebut adalah Baju Kera, Arca, Gamelan, Tuah Meriam, Bedil Sundut, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.

wikipedia

 SEJARAH KERAJAAN TALAGA MANGGUNG 
Nun jauh di lereng Gunung Ciremay sebelah selatan, di sekitar Desa Sangiang Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka, berdiri satu Negara yang disebut dengan Kerajaan Kerajaan Talaga. Yang pertama-tama mendirikan dan mengolah Negara tersebut yaitu Batara Gunung Picung, putera keenam Ratu Galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga Maharaja Sakti Adimulya (1252 – 1287 M). Adapun Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri mempunyai delapan putera/puteri dari isteri beliau yang berlain-lainan. Nama-nama mereka itu adalah: Prabu Hariangbanga: Menurunkan para raja di daerah Jawa Timur, seperti Prabu Brawijaya II sampai Prabu Brawijaya V; Maharajasakti: Menurunkan para raja di tanah Pajawan; Prabu Ciungwanara (1287 – 1303 M): Menurunkan para raja di Pakuan dan Pajajaran; Ratu Ragedangan; Prabu Haurkuning, Maharaja Ciptapermana I (1580 – 1595 M); Batara Gunung Picung (1595 – 1618); Menurunkan Raja-Raja Talaga; Ratu Permana Dewa; dan Bleg Tamblek Raja Kuningan. Adapun Batara Gunung Picung (Ciptaperman II) beliaulah yang menjadi Raja pertama di Talaga (Talagamanggung), dari beliau itu pula menurunkan: Sunan Cungkilak; Sunan Benda; Sunan Gombang; Ratu Ponggang Sang Romahiyang; dan Prabu Darmasuci I. Prabu Darmasuci I mempunyai dua orang putera yang akan melanjutkan silsilah Kerajaan Talaga pada masa berikutnya, dua orang putera beliau itu adalah: 1. Bagawan Garasiang; dan 2. Prabu Darmasuci I (Prabu Talagamanggung). Bagawan Garasiang Putera sulung Prabu Darmasuci I adalah Begawan Garasiang, beliau adalah orang yang gemar bertapa dan merenung sehingga beliau menjadi seorang Begawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang disebut Pasir Garasiang, terletak di daerah perbatasan antara Kecamatan Argapura dan Talaga sekarang. Beliau mempunyai puteri yang bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putera Prabu Siliwangi II (Raden Pamanah Rasa)[2] dari Pajajaran. Kalau kita perhatikan, dengan adanya pernikahan Putri Talaga dan Putra Pajajaran, ini adalah hukum yang tidak tertulis akan tetapi menjadi ciri khas langkah strategis dan politis raja-raja Pasundan untuk mempertahankan keutuhan Negara dan ikatan kekeluargaan melaui jalan pernikahan di antara para penguasa wilayah Pasundan. Dengan memperhatikan asfek-asfek penting inilah sikap silih asih, silih asah, silih asuh akan terekat kuat. Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bersemayam di Talaga, keraton beliau terletak di Sangiang, dengan panorama situ keraton yang indah yang disebut Situ Sangiang. Menurut catur para sepuh Talagamanggung adalah seorang Narpati yang sakti mandraguna dan weduk (tidak tembus senjata). Beliau mempunyai sebuah senjata pusaka yang diberi nama "cis", bentuknya seperti tombak kecil atau sekin. Konon, bahwa beliau ketika lahir tidak memiliki pusar seperti halnya orang pada umumnya. Menurut ceritera pula Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus senjata oleh senjata CIS-nya itu. Pada masa pemerintahan Prabu Talagamanggung Kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gilang-gemilang dan kondisi sosial masyarakatnya semakian tentram dan mapan. Dengan demikian banyak orang yang berasal dari negara dan daerah lain ikut menetap di Talaga. Prabu Talagamanggung mempunyai seorang menantu yang berasal dari Bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung (suami Putri Dewi Simbarkancana), pada suatu kesempatan Palembanggunung mengadakan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Akhirnya Palembanggunung dengan komplotannya, melalui oleh seorang pengawal pribadi Sang Prabu, Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata) ia berhasil mencuri senjata CIS tersebut dan memberikannya kepada Palembanggunung yang kemudian digunakan untuk menusuk tubuh Sang Prabu. Dalam peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai ajaran Agama Hindu Kahiyangan, abu jenazahnya di larung di Situ Sangiang[3]. Pada masa hidupnya, Prabu Talagamanggung mempunyai satu orang putera dan satu orang puteri; Raden Panglurah dan Raden Dewi Simbarkancana. Raden Panglurah Dari usia kecil ia sudah rajin melatih diri, berangkat ke Gunung Bitung[4], beliau bertapa di bekas bertapa uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Raden Panglurah[5] adalah seorang sosok putera penguasa (raja) yang memiliki sifat-sifat zuhud, meninggalkan kesenangan dunia) dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan mengembangkan asfek-asfek spiritual yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Dalam kata lain Radan Panglurah lebih memilih ketentraman dan kesenangan runani serta penghambaan kepada Tuhan Semesta alam. Raden Dewi Simbarkancana Raden Dewi Simbarkancana walaupun seorang puteri beliau banyak memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang diwarisi ayahanda beliau, Prabu Talagamanggung. Beliau menikah dengan Palembanggunung, Pepatih kerajaan. Pada mulanya Dewi Simbarkancana tidak mengetahui bahwa kematian ayahanda beliau itu didalangi suaminya sendiri, akan tetapi sabuni-bunina mungkus tarasi lambat laun kebusukan sang suami diketahui juga oleh beliau. Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Kerajaan Talaga untuk sementara waktu dikuasai oleh Palembanggunung. Dewi Simbarkancana merasa sangat terpukul, beliau ceurik balilihan[6] (menangis dengan sangat menderita batin) karena dua hal: pertama, karena beliau dihianati oleh suami beliau sendiri; yang kedua, karena ditinggal oleh ayahanda tercinta dengan peristiwa yang memilukan. Menurut beliau, siapa orangnya yang tidak berduka hati ketika ditinggal sang ayah. Ayahanda beliau, sesorang yang sudah berbuat baik mengangkat derajat Palembanggunung dibalas dengan perilaku yang sangat keji. Air susu dibalas air tuba itulah yang terjadi. Akhirnya dengan keberanian beliau, Dewi Simbarkancana berhasil membunuh Palembanggunung dengan susuk kondenya. Selanjutnya Raden Dewi Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari keraton Galuh, putera dari Prabu Ningrat Kancana. Beliau adalah seorang yang masagi pangarti (cakap lahir batin), seorang tabib dan ahli strategi. Beliau berhasil menumpas tuntas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya, dengan demikian kekuasaan dapat diambil kembali, keamanan dan ketertiban negara kembali menjadi stabil dan kokoh. Dari pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya membuahkan delapan orang putera, yaitu:
 1. Sunan Parung (Batara Sukawayana);
 2. Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);
 3. Sunan Gunung Bungbulang;
 4. Sunan Cengal (Kerok Batok);[7]
 5. Sunan Jero Kaso;
 6. Sunan Kuntul Putih;
 7. Sunan Ciburang; dan
 8. Sunan Tegalcau.[8]
Perpindahan Pertama Pusat Kerajaan (ke Walangsuji) Menyusul kekacauan yang menimpa keraton Sangiang, yakni dengan adanya rajapati terhadap Prabu Talagamanggung dan pemberontakan yang didalangi sang menantu durhaka, hal ini mendorong Ratu Simbarkancana untuk memindahkan pusat kerajaan dari tutugan Gunung Ciremay ke Walangsuji, di Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan Talaga sekarang. Pusat pemerintahan di Walangsuji nampaknya tidak begitu lama, boleh dikatakan hanya sapanguluban waluh. yakni pusat kerajaan hanya bertahan di Walangsuji selama tujuh tahun tiga bulan[9]. Setelah Penguasa Talaga memandang dari berbagai segi akhirnya diputuskanlah bahwa Walangsuji kurang strategis untuk tetap dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Talaga sehingga pusat karajaan harus segera dipindahkan kembali. Perpindahan Kedua Pusat Kerajaan (ke Parung) Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putera sulung beliau yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puteri beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung. KERAJAAN TALAGA ISLAM Ratu Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah Ta'ala. Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Raganantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu: Prabu Haur Kuning; Aria Kikis, Sunan Wanaperih; Dalem Lumaju Ageng Maja; Sunan Umbuluar Santoan Singandaru; Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan Dalem Panaekan. Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003 oleh penulis. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan[10]. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagi batu nisan.[11] Perang Talaga Pada Masa Pemerintahan Arya Kikis Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putera kedua Ratu Parung pada tahun 1550 M. Arya Kikis adalah seorang Narpati dan da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanudatar atau yang dikenal dengan Dalem Cikundul. Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak. Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan. Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga. Kesepakatan Keraton Ciburang Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala. Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam; yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah. Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuhun Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit.
Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak. Kemudian Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Arya Kikis untuk bertafakur di kampungnya yaitu Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati. Sunan Wanaperih mempunyai enam orang anak, empat orang putera dan dua orang puteri. Mereka adalah: Dalem Kulanata Maja[12]; Dalem Cageur Darma; Raden Apun Surawijaya; Ny. Ratu Radeya[13]; Ny. Ratu Putri[14]; dan Dalem Waqngsagoparana[15]. Pemerintahan Raden Apun Surawijaya. Raden Apun Surawijaya memerintah Talaga sepeninggal ayahanda beliau Arya Kikis pada tahun 1590. Beliau adalah seorang Narpati Talaga yang gagah rongkah sakti mandraguna, akan tetapi sangat mencintai dan dicintai para pembantu beliau dan bahkan dengan kegagahan dan wibawanya itu beliau ditakuti lawan. Makam beliau terdapat di Kampung Lemah Abang, Desa Cikeusal, Kecamatan Talaga-Majalengka. Raden Apun Surawijaya, Sunan Kidul mempunyai empat orang putera yaitu: Dalem Salawangi; Sunan Cibalagung (Cianjur); Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy); dan Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa pemerintahan Raden Apun Surawijaya Kerajaan Talaga sudah dibawah kekuasaan Cirebon. Walaupun demikian Sang Narpati Talaga itu tetap setia dan patuh pada Kesepakatan Ciburang yang telah dibuat oleh para pembesar Talaga maupun Cirebon. Agama Islam dan perasaan "saakar jeung sakaruhun" telah merekatkan tali persaudaraan dan tali kekeluargaan kedua negara tersebut. Memang ada kata-kata leluhur yang mengatakan: "Ari numoro (nyangkalak) rampog-mah Talaga, nanging ari congcotnya bagian Cirebon". Demikian ini mungkin diucapkan untuk menyatakan adanya ketidak adilan yang muncul, dan itulah nampaknya yang menyebabkan Perang Talaga berlangsung. Sebagai seorang penguasa yang dicintai dan mencintai rakyatnya, Raden Apun Surawijaya telah berhasil meningkatkan tingkat kesejahteraan para petani. Pada masa beliau berbagai bendungan irigasi (dam) dibangun, beliau sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyat, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam. Pemerintahan Raden Arya Adipati Surawijaya. Raden Arya Adipati Surawijaya (Sunan Ciburuy), putera ketiga Raden Apun Surawijaya menjadi raja menggantikan ayahnda beliau pada tahun 1635 M. Beliau menikahi Ratu Kartaningrat, adik Sultan Panembahan Kasepuhan Cirebon. Raden Arya Adipati Surawijaya dalam melaksanakan tugas pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria Paningsingan, seorang senapati yang gagah dan berani.
Dari hasil pernikahan antara Raden Arya Adipati Surawijaya dengan Ratu Kartaningrat beliau dikaruniai Allah SWT lima orang putera dan satu orang puteri, yakni:
 1. Pangeran Adipati Suwarga;
 2. Pangeran Jayawiriya;
 3. Pangeran Kusumayuda;
 4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje, Subang);
 5. …………………..(tidak diketahui namanya); dan
 6. Ratu Puteri Tilanagara.
Pemerintahan Raden Adipati Suwarga Selanjutnya yang memerintah Talaga adalah putera cikal Raden Arya Adipati Surawijaya yang bernama Pangeran Adipati Suwarga, beliau naik tahta tahun 1675 M. Pangeran Adipati Suwarga menikahi dua orang isteri, yaitu:
1. Ratu Losari Cirebon; dan
 2. Nyi Mas Jitra dari Nunuk (Cengal).
Dari pernikahan Pangeran Adipati Suwarga dengan Ratu Losari dikaruniai putera yang bernama Pangeran Aria Sacadilaga, sedangkan dari penikahan beliau dengan Nyi Mas Jitra dikaruniai putera yang bernama Pangeran Adipati Wiranata. Talaga Terpecah Menjadi Dua Kerajaan Ketika Pangeran Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga tahun 1715 M muncul protes dari putera Pangeran Kusumayuda yang bernama Pangeran Natadilaga. Beliau merasa berhak untuk menjadi Narpati Talaga. Melihat kondisi demikian, para sesepuh Talaga segera mengadakan musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus dibagi dua, yakni menjadi dua kesultanan:
1. Kesultanan Talagakidul, yang dipimpin oleh Adipati Wiranata; dan
2. Kesultanan Talagakaler, yang dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.
Ketika itu pula disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin Kabupatian yang meliputi: Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putera ke-3 Pangeran Adipati Wiranata; Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, putu Pangeran Arya Natadilaga; Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putera ke-4 Pangeran Adipati Wiranata; dan Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, putu Pangeran Adipati Jayawiriya.
Keempat bupati dari empat Kabupatian Talaga ketika itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena dalam satu masa yang bersama-sama mengurus Negara Talaga. Masuknya Dajjal (Kaum Penjajah) dari Erofa di Talaga Seiring masa berlalu munculah "munding-munding bule" di bumi pertiwi, yakni dimulai dengan datangnya perjajah Portugis, Spanyol, dan akhirnya Belanda (VOC). Dengan politik Devide et impera atau politik pecah belah, pada umumnya mereka berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di tanah air, tidak terkecuali Talaga. Pada tahun 1806 M Belanda menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu kabupatian dengan bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1818 M Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka yang kita kenal sekarang. Sesuai dengan rencana licik VOC bahwa sebagai konsekuensi digabungnya dua kabupaten itu mengharuskan Bupati pindah dari Talaga ke Majalengka. Pangeran Sacanata II sebagai Bupati Majalengka ketika itu menolak untuk meninggalkan Talaga dan akhirnya dipensiunkan oleh Belanda (VOC) dengan hak jasa pensiun sebidang tanah sawah lima puluh bahu.
Dengan demikian Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat julukan Bopati Panungtung Talaga. Sebutan "Bopati Talaga" Menjadi "Sesepuh Talaga" Karena dari rundayan Talaga pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih itu tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun Talaga. Ketika itu disepakati bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang mempunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II dari pihak anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada maka pihak perempuan pun diperbolehkan asal jika mempunyai anak laki-laki maka pengurusan benda pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki. Beriku ini adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para Sesepuh Talaga: Pangeran Sumanagara (1820-1840 M), putera sulung Pangeran Arya Sacanata II; Nyi Raden Anggrek (1840 – 1865 M), puteri Pangeran Sumanagara; Raden Natakusumah (1865 – 1895 M), putera Nyi Raden Anggrek; Raden Natadiputra (1895 – 1925 M), putera Raden Natakusumah; Nyi Raden Masri'ah (1925 – 1948 M), puteri Raden Natadiputra; Raden Acap Kartadilaga (1948 – 1970 M), suami Nyi Raden Masri'ah; Nyi Raden Mardiyah (1970 – 1993 M), puteri Daden Acap kartadilaga; Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993 – 2001 M), putera Nyi Raden Mardiyah; dan Raden Abung Syihabuddin (2001 – sekarang), putera Raden Oo Mohammad Syamsuddin. Islam di Talaga Berkebang Secara Damai Agama Islam di wilayah Kerajaan Talaga berkembang pesat berkat kerja keras dan suri tauladan yang indah dan cinta damai dari para da'i Islam yang didukung toleransi penuh dari para penguasa Hindu Kahiyangan baik yang menguasai Talaga, Galuh, maupun Pakuan Pajajaran. Bayangkan jika tidak ada toleransi dari para penguasa Hindu yang ada di tanah Pasundan, mungkin sekali penyebaran Islam di Talaga khususnya dan Tanah Pasundan umunya akan dipenuhi dengan cucuran darah dan pertumpahan darah. Insya Allah, kemakmuran dan kedamaian Talaga akan senantiasa tercipta manakala segenap penduduknya senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, saling mengasihi dan menyayangi, mengembangkan budaya toleransi dan menjauhi budaya kekerasan. Kita harus senantiasa ingat bahwa budaya kekerasan Wahabiyah, melalui gerakan DI TII yang sempat mengoyak-oyak sebagian wilayah Talaga tidak terulang lagi. Amin dan Alhamdulillahirabbil 'alamiin.....
 
Created All Sumber : Team CTC  ___________________________________________________________ [1]

Letak kuburan Raden Raga Mantri, cucu Bagawan Garasiang dan Raden Pamanah Rasa terletak di luar bangunan yang biasa dipakai tahlilan para penziarah, di bawah pohon besar dengan tiga buah batu biasa sebagai batu nisannya, sesuai pesan spiritual beliau. Peletakan batu nisan penulis lakukan dibantu oleh kuncen situs,
Bapak H. Emod dan sahabat penulis Suharto.
Kata Siliwangi berasal dari kata Silih yang berarti pengganti atau penerus dan Wangi yang berarti wangi atau harum. Dengan demikian, makna dari nama Prabu Siliwangi mempunyai pengertian bahwa beliau adalah Pengganti atau Penerus Prabu Wangi (Wangisutah) yang gugur di alun-alun Bubat Majapahit (sekarang terletak di Kec.Trowulan Kab.Mojokerto) pada tahun 1357 M dalam mempertahankan kehormatan dan wibawa Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, rombongan dari Pajajaran bermaksud untuk mengawinkan puteri beliau Putri Diyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk atas pinangan Sang Raja. Ketika itu rombongan calon penganten perempuan berhenti dan membuat pasangrahan di alun-alun Bubat sambil menunggu jemputan Raja Hayam Wuruk (calon penganten laki-laki). Rupanya niat mulia Prabu Wangi (Wangisutah) dan Raja Hayam Wuruk tidak dikehendaki oleh Patih Gajah Mada, ia mengadakan "gerakan rahasia" yang tidak diketahui oleh rajanya sendiri. Gajah Mada dengan pasukannya yang sangat besar mengepung dan menyerbu rombongan calon pengantin perempuan sehingga menyebabkan gugurnya Sang Mokteng Bubat (Prabu Wangi), Putri Diyah Pitaloka dan para pengawalnya. Adapun sebutan Prabu Siliwangi I adalah Prabu Wastu Kencana yang memindahkan pusat Kerajaan Pajajaran dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (Bogor). Pada masa pemerintahan Prabu Wangi, Prabu Siliwangi I dan Prabu Siliwangi II Kerajaan Pajajaran dibawah satu kekuasaan atau dalam kata lain Pasundan Timur dan Pasundan Barat bersatu di bawah satu Raja. Pasca Rahiyang Wastu Kencana, Kerajaan Pasundan terbagi dua; yakni Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Ciamis dibawah kekuasaan Ningrat Kancana dan Kerajaan Pakuan yang berpusat di Bogor di bawah kekuasaan Prabu Susuktunggal.
Pada masa Prabu Siliwangi II itulah Pasundan bersatu lagi menjadi Pakuan Pajajaran yang berpusat di Bogor.
Menurut Babad Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu Prabu Talagamanggung beserta keratonnya ngahiyang (menghilang) dan menjadi Situ Sangiang sekarang. Menurut penulis sendiri, arti "ngahyiang" itu tidak lain melainkan Inna lillahi râjiûn wa inna ilahi râjiûn dalam arti Kembali Ke Sang Hiyang (Tuhan) dan bukan tilem.
Gunung Bitung tepatnya sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majelangka. Tempat pertapaan Raden Panglurah sampai sekarang sering diziarahi orang.
Penulis merasa prihatin karena Patung Raden Panglurah hingga sekarang masih berada di negeri Belanda, adapaun patung adik beliau Bunda Raden Dewi Simbarkancana masih ada dan terawat baik di Talaga.
Istilah ceurik balilihan dan makna beberapa kata berikutnya adalah dari Bunda Dewi Simbarkancana sendiri, diberitahukan beliau kepada penulis secara spriritual pada tanggal 28 Januari 2008, kira-kira pukul 20.45 WIB.
Petilasannya masih terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung Cadas, Desa Anggrawati, Kecamatan Maja-Majalengka.
Petilasannya terdapat di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari-Maja.
Angka 7 tahun 3 bulan ini berdasarkan keterangan Bunda Ratu Simbarkancana, pada tanggal 27 Januari 2008 yang disampaikan secara spiritual kepada penulis.
Tadinya penulis tidak menyangka bahwa di atas kuburan beliau betul-betul hanya ada satu pohon rotan (ketika itu sudah pugur dengan satu lembar daun) sesuai dengan tanda-tanda yang disebutkan dalam Babad Talaga, Subhanallah.
Penemuan letak makam Raden Ragamantri telah dicek dan diakui kebenarannya oleh Kang Yuyun, Spiritualis Talaga beberapa waktu setelah penulis memohon beliau untuk mencek kebenaran apa yang telah disampaikan Eyang Ragamntri kepada penulis secara spiritual itu.
Beberapa tahun yang lalu, Dalem Kulanata memberitahu kepada Kakanda Penulis, Mahfuddin melalui mimpi agar makam beliau yang terletak di pemakaman umum Maja Selatan diperbiki. Hal ini sudah diberitahukan kepada kuncen pekuburan.
Dinikahi oleh Ariya Paningsingan
Dinikahi oleh Syekh Sayyid Pamijahan
Menurunkan para penguasa di Sagalaherang Subang dan Cianjur.

Sumber : All Media Electonik
SILSILAH KERAJAAN TALAGA MANGGUNG

Silsilah yang Tumpang Tindih Ihwal sajarah Kerajaan Talaga itu ternyata masih simpangsiur. Pertama, karena tidak ada naskah baku (prasasti) dan peninggalan sejarah lainnya. Kedua, karena naskah yang ada yang hanya “sekedar catatan ingatan” pun yang berupa semacam “Wawacan Talagamanggung” pun tidak pernah dimunculkan ke permukaan secara utuh. Jadi, setiap penulis akhirnya menulis menurut “sumber-sumber yang tidak layak dipercaya,” dan menyebar menjadi “hutan belantara leuweung ganggong, sima ganggong, penuh dengan akar-akaran yang berserabutan ke sana kemari.” Andai dicoba ditelaah cermat oleh suatu tim, dengan membaca juga “dongeng Panjalu,” dongen “Sumedang,” dongeng Rajagaluh, dongeng Cirebon,” dongen Kawali dsb. Mungkin akan agak lain. Jangan lupa baca juga dengan cermat Wawacan Bujangga Manik karena padanya antara lain nama Walangsuji dan Talaga disebut-sebut oleh Prabu Jaya Pakuan (pelancong penulis geografi Indonesia). Tentu baca komentar juga tentangnya dari berbagai penafsir. Yang tak kalah penting adalah coba “cross-check” tahun-tahun peristiwa, adakah yang saling bertentangan (mustahil). Jika A sejaman dengan B, maka mustahil A berada tahun X sementara B pada tahun Y. Jika A merupakan anak keturunan jauh dari B, maka tak mungkin B berada pada tahun-tahun sejaman dengan A. Nah, karena secara “internasional” Wikipedia banyak dijadikan rujukan, maka “kisah Kerajaan Talaga” yang ada di Wikipedia itu yang pertama-tama akan dinukil. Ini ceriteranya tentang “Majalengka, Majalengka.” Sebagian “harus diedit” oleh Penulis agar tidak kacau balau dari segi tuturan maupun sistematika. Secara internal saja, di dalamnya banyak yang kontradiksi. apalagi jika dibandingsilangkan dengan artikel-artikel berikutnya. Cag, pigaweeun! Artikel I [Wikipedia] Zaman Kerajaan Hindu di Talaga Pemerintahan Batara Gunung Picung Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi. Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh yang bertahta di Ciamis. Beliau adalah putera V, yang masih ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran, di antaranya yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Daerah kekuasan Kerajaan Talaga meliputi wilayah-wilayah yang sekarang disebut dengan Talaga (dan Banjaran), Cikijing (termasuk Cingambul), Bantarujeg, Lemahsugih, Maja (termasuk Argapura) dan bagian selatan Majalengka (Cigasong dan Girilawungan). Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik. Agama yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu. Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km, tepatnya jalur jalan Talaga – Salawangi di daerah Cakrabuana. Pembangunan lainnya berupa perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi semua saluran pengairan di daerah Cikijing.
Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu (16 tahun). Raja berputera 6 orang yaitu :
(1) Sunan Cungkilak,
(2) Sunan Benda,
(3) Sunan Gombang,
(4) Ratu Panggongsong Ramahiyang (ada yang menulis Pagongsong Romahiyang),
(5) Prabu Darma Suci I, dan
(6) Ratu Mayang Karuna.
Setelah meletakkan jabatan, pemerintahan Kerajaan Talaga selanjtunya dilanjutkan oleh Prabu Drama Suci I. Pemerintahan Prabu Darma Suci I Prabu Darmasuci I disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam masa pemerintahannya (abad XIII) agama Hindu berkembang dengan pesat. Nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga. Apakah kunjungan tamu-tamu tersebut merupakan hubungan kekeluargaan saja, ataukah ada hubungan perdagangan atau politik, tidak banyak diketahui. Peninggalan yang masih ada dari Kerajaan Talaga masa pemerintahan Prabu Darmasuci I ini antara lain benda-benda perunggu, gong, dan harnas atau baju besi. Pada abad XIV Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni:
(1) Bagawan Garasiang, dan
(2) Sunan Talaga Manggung.
Pemerintahan Sunan Talaga Manggung [Sic.: Bagawan Garasiang] Sepeninggal Prabu Darmasuci I, tahta kerajaan dipangku oleh Begawan Garasiang, tetapi hanya sebenatar saja. Beliau sangat mementingkan kehidupan keagamaan sehingga akhirnya tahta Kerajaan Talaga diserahkan kepada adiknya yang beranama Sunan Talaga Manggung. Tak banyak yang diketahui dari masa pemerintahan Bagawan Garasiang selain kepindahan beliau dari Talaga [baca: Sangiang Talaga–Pen.] ke daerah Cihaur Maja. [Catatan: Menurut sumber lain Raja ini dimakamkan di Pasir (bukit) Garasiang di atas “situ” Sangiang Talaga]. Pemerintahan Sunan Talaga Manggung Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap beliau yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan, serta kesenian rakyat. Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Beliau berputera dua, yaitu :
(1) Raden Pangrurah, dan
(2) Ratu Simbarkancana.
Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung (menantunya–Pen.] yang bernama Centangbarang, tanpa diketahui oleh Ratu Simbarkancana dan masyarakat luas. Kemudian, karena Palembang Gunung merupakan menantu Talaga Manggung (memperisteri Ratu Simbar Kancana), maka Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung sebagai raja. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana yang sudah tahu akan pengkhianatan Plembang Gunung dari hulubalang Citrasinga (atas dorongan Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu), membunuh Palembang Gunung dengan tusuk konde sewaktu ia tidur. Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu, keturuan Galuh (Kawali-Panjalu) dan dianugrahi 8 orang putera, diantaranya yang terkenal sekali adalah putera pertamanya yang bergelar Sunan Parung. Pemerintahan Ratu Simbarkencana Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahan Ratu Simbarkancana agama Islam sudah mulai menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para santri dari Cirebon. Pusat pemerintahan waktu itu oleh Ratu Simbarkancana dipindahkan dari “Sangiang Talaga” ke suatu daerah disebelah utaranya yang bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih [dusun Kagok, Kecamatan Banjaran sekarang]. Setelah wafat, Ratu Simbarkancana digantikan oleh puteranya yang bergelar Sunan Parung. Pemerintahan Sunan Parung Masa pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.
Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya perwakilan pemerintahan yang disebut “kadaleman,” masing-masing “kadaleman” dikepalai oleh seorang Dalem (putra-putranya sendiri). Kadaleman dimaksud antara lain Kadaleman Kulur, Sindangkasih [dalam ceritera lain Girilawungan; tidak ada Sindangkasih–ini akan kontroversi dengan “dongeng” Kerajaan Sindangkasih Nyi Rambut kasih], dan Jerokaso Maja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung. Pemerintahan Ratu Sunyalarang Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri yang kemudian bergelar Prabu Pucuk Umum Talaga [adaRatu Pucuk Umum Sumedang!]. Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum pun memeluk agama Islam.
Oleh karena itulah (menurut ceritera lain) Raden Rangga Mantri oleh Sunan Gunung Jati diberi gelar Prabu Pucuk Umum Talaga. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka [Stop: Rajagaluh bukan bagian dari Kerajaan Talaga; sementara “Majalengka” tidak tersebut-sebut dalam ceitera Talaga yang manapun–kecuali untuk menyebutkan “yang sekarang termasuk wilayah Majalengka). Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama IslamHubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageng merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV. Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Kerajaan Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan. Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum Dari pernikahanRatu Parung (Ratu Sunyalarang) dengan Raden Rangga lahir 6 orang putera yaitu :
(1) Prabu Haurkuning,
(2) Sunan Wanaperih,
(3) Dalem Lumaju Agung,
(4) Dalem Panuntun,
(5) Dalem Panaekan,
(6) [dari ceritera lain]
Sunan Umbuluar Santoan Singandaru. Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam. Beliau sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di beberapa daerah wilyah Kerajaan Talaga, yaitu:
(1) Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walangsuji;
(2) Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja;
(3) Dalem Panuntun di Majalengka [Girilawungan],
(4) Prabu Haurkuning di Talaga–yang selang kemudian di Ciamis dan kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati di Ciamis,
(5) Dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenak, Nunuk, Cibodas dan Kulur. Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga. Pemerintahan Sunan Wanaperih Sunan Wanaperih seperti orang tuanya sudah memeluk agama Islam.
Hampir seluruh rakyat di kerajaan ini juga telah memeluk agama Islam. Beliau berputera 6 orang, yaitu :
(1) Dalem Cageur,
(2) Dalem Kulanata,
(3) Apun Surawijaya atau Sunan Kidul,
(4) Ratu Radeya,
(5) Ratu Putri,
(6) Dalem Wangsa Goparana.
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur, dan kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji. Ketika beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, pusat pemerintahan kembali ke Talaga (“Sangiang Talaga”–atau Parung alias “Curug Campaga”?–Pen.). Pemerintahan Apun Surawijaya Apun Surawijaya (pengeran Surawijaya) bergelar Pangeran Ciburuy atau Sunan Ciburuy. Beliau menikah dengan putri Cirebon yang bernama Ratu Raja Kertadiningrat, saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon. Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak, yaitu:
(1) Dipati Suwarga,
(2) Mangunjaya,
(3) Jaya Wirya,
(4) Dipati Kusumayuda,
(5) Mangun Nagara [dalam tulisan lain disebut Raden Barzah Mangunnagara bergelar Mangkubumi—diperkirakan dimakamkan di bukit Mangkubumi, Maja),
(6) Ratu Tilarnagara. Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning.
Pemerintahan Dipati Suwarga Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga [?–Lihat bawah!]yang menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu Pangeran Dipati Wiranata dan Pangeran Secadilaga atau pangeran Raji.
Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata [?–Lihat atas!] dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran Secanata Eyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962. Pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali, hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam. Artikel II: [Wacana Nusanatara] Talaga Tim Wacana Nusantara 11 May 2009 Pengetahuan kita tentang kerajaan-kerajaan klasik pra Islam di Jawa Barat mungkin terbatas pada Tarumanagara dan Sunda (Pajajaran) atau Galuh. Hal tersebut tak bisa dipungkiri, memang, karena sumber-sumber primer tentang kerajaan-kerajaan tersebut ada, meski itu pun masih terbatas. Pemahaman kesejarahan kita akan Kerajaan Talagamanggung (selanjutnya disebut Kerajaan Talaga saja) rupanya cukup gelap. Kita tak memiliki sumber sejarah yang utuh dan kuat mengenai keberadaan kerajaan ini, kecuali sumber sekunder yakni Babad Talaga dan beberapa tradisi lisan (legenda) yang tersebar di masyarakat setempat, yakni masyarakat Kacamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Padahal, keberadaan kerajaan ini terkait erat dengan Kerajaan Galuh, salah satu kerajaan terbesar di Jawa Barat—selain Sunda-Pakuan—yang juga pernah secara bergilir menjadi pusat/ibukota Kerajaan Sunda. Masa Klasik Batara Gunung Picung, Pendiri Kerajaan Talagamanggung Kerajaan Talaga terletak di lereng Gunung Ciremay bagian selatan di Desa Sangiang, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka. Kerajaan Talaga didirikan Batara Gunung Picung, putra keenam dari Ratu Galuh yakni Ajar Sukaresi (Maharaja Sakti Adimulya) yang memerintah di Galuh tahun 1252 -1287 M. Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri memiliki delapan anak dari istri-istri yang berlainan.
Putra-putri Ajar Sukaresi itu adalah: Prabu Hariangbanga; Maharajasakti, yang menurunkan raja-raja di Pajawan; Prabu Ciungwanara (1287-1303 M); Ratu Ragedangan; Prabu Haurkuning, bergelar Maharaja Ciptapermana I (1580 -1595 M); Batara Gunung Picung, bergelar Ciptapermana II (1595 -1618), pendiri Talaga; Ratu Permana Dewa; Bleg Tamblek, Raja Kuningan. Batara Gunung Picung (Ciptapermana II) sendiri, memiliki keturunan, yakni: Sunan Cungkilak; Sunan Benda; Sunan Gombang; Ratu Ponggang Sang Romahiyang; Prabu Darmasuci I. Prabu Darmasuci I Setelah Batara Gunung Picung lengser, takhta Talaga dipegang oleh putra bungsunya, yakni Prabu Darmasuci I. Prabu Darmasuci ijni memunyai dua orang putra, yaitu: Bagawan Garasiang dan Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung).
Bagawan Garasiang, putra sulung Prabu Darmasuci I, dikenal sebagai orang yang gemar bertapa, sehingga ia dikenal juga sebagai Bagawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang diberi nama Pasir Garasiang, terletak di perbatasan antara Kecamatan Argapura dengan Kecamatan Talaga sekarang.
Bagawan Garasiang memiliki putri bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putra Prabu Siliwangi (Raden Pamanah Rasa) dari Pajajaran. Pernikahan kekeluargaan natara Putri Talaga dengan Putra Pajajaran ini merupakan langkah politis raja-raja Pasundan untuk mempertahankan keutuhan kerajaan. Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) Ketika memerintah, Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bertempat di Talaga. Keratonnya sendir terletak di Sangiang. Pada masa pemerintahannya, Talaga mengalami kemajuan yang pesat. Secara sosial-ekonomi masyarakatnya semakian mapan.
Oleh karena itu, banyak orang dari negara dan daerah lain kemudian menetap di Talaga. Menurut cerita tutur, Prabu Talagamanggung adalah seorang narpati yang sakti mandraguna dan weduk (tidak mempan ditembus senjata). Ia memunyai sebuah senjata pusaka bernama Cis, berbentuk seperti tombak kecil. Konon, ketika lahir ia tidak memiliki pusar dan Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus oleh senjata Cis miliknya sendiri. Prabu Talagamanggung memiliki seorang menantu bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung, suami Dewi Simbarkancana, yang diberi jabatan sebagai patih kerajaan. Pada suatu kesempatan, Palembanggunung mengadakan gerakan rahasia untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Palembanggunung lalu meminta bantuan kepada seorang pengawal pribadi Sang Prabu Talagamanggung, bernama Centrangbarang (dinamai begitu karena ia ditugaskan mengurus senjata [barang]).
Dari bantuan Centrangbarang, Palembanggunung berhasil mencuri senjata Cis, yang kemudian digunakan untuk menusuk Sang Prabu. Prabu Talagamanggung pun terluka dan akhirnya meninggal. Jenazahnya diurus sesuai ajaran Hindu Kahiyangan. Abu jenazahnya dilarungkan di Situ Sangiang. MenurutBabad Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu, Prabu Talagamanggung beserta keratonnya ngahiyang (menghilang), dan bekas keraton tersebut lalu menjadi Situ Sangiang sekarang. Selain Dewi Simbarkancana, Prabu Talagamanggung memunyai seorang putra, yakni Raden Panglurah. Sejak kecil Raden Pangkurah rajin melatih diri di Gunung Bitung. Sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Majalengka. Ia bertapa di bekas pertapaan uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Tempat pertapaan Raden Panglurah sampai sekarang sering diziarahi orang. Raden Panglurah adalah seorang sosok putra raja yang meninggalkan kesenangan dunia dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan spiritual.Sayang, patung Raden Panglurah hingga kini tersimpah di Belanda, sedangkan patung Dewi Simbarkancana masih terawat baik di Talaga. Dewi Simbarkancana Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Talaga dikuasai oleh Palembanggunung. Mulanya Dewi Simbarkancana, istri Palembanggunung, tidak mengetahui bahwa kematian ayahnya didalangi suaminya sendiri. Dewi Simbarkancana sangat terpukul, karena merasa dikhianati oleh suami sendiri—bahkan suaminyalah yang membunuh ayahnya. Akhirnya, Dewi Simbarkancana membalaskan dendamnya: membunuh Palembanggunung dengan susuk kondenya. Setelah Palembanggunung meninggal, Raden Dewi Simbarkancana mengambil-alih takhta Talaga. Kendati seorang putri, beliau memiliki sifat-sifat kepemimpinan sang Ayah. Raden Dewi Simbarkancana pun menikah kembali, kali ini dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari Galuh, putra Prabu Ningratkancana. Raden Kusumalaya seorang yang masagi pangarti (cakap lahir-batin), seorang tabib sekalligus ahli strategi. Ia berhasil menumpas habis komplotan bawahtanah Palembanggunung. Dengan begitu, keamanan dan ketertiban negara kembali menjadi stabil. Pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya melahirkan delapan orang putra, yaikni:
1. Sunan Parung (Batara Sukawayana);
2. Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);
3. Sunan Gunung Bungbulang;
4 Sunan Cengal (Kerok Batok, petilasannya terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung Cedas, Desa Angrawati, Kecamatan Maja- Majalengka;
5. Sunan Jero Kaso;
6. Sunan Kuntul Putih;
7. Sunan Ciburang;
8. Sunan Tegalcau, petilasanya terdapat di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari, Kecamatan Maja.
Peristiwa tragis pembunuhan terhadap Prabu Talagamangung oleh Palembanggunung, menyusul peristiwa ngahiyang keraton Sangiang, mendorong Ratu Simbarkancana memindahkan pusat kerajaan. Ibukota pertama yang terletak di lereng Gunung Ciremay pun kemudian beralih ke wilayah Walangsuji, Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan Talaga sekarang. Sunan Parung Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putra sulungnya yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya putrinya, Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putra Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Bagawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi (Sri Baduga Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung. Pusat pemerintahan di Walangsuji hanya bertahan selama tujuh tahun tiga bulan. Dewi Sunyalarang memandang bahwa Walangsuji kurang strategis untuk terus dijadikan pusat pemerintahan.
Masa Islam Ratu Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam Pada 1529 Ratu Parung dan suaminya, Raden Ragamantri. mengucapkan syahadat. Mereka masuk agama Islam melalui Sunan Gunung Jati yang dibantu para mubalig Cirebon. Sunan Gunung Jati(Syarif Hidayatullah) lalu memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga. Hasil pernikahan Ratu Parung (Dewi Sunyalarang) dengan Raden Ragamantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu: Prabu Haur Kuning; Aria Kikis, Sunan Wanaperih; Dalem Lumaju Ageng Maja; Sunan Umbuluar Santoan Singandaru; Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; Dalem Panaekan. Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung. Akan tetapi, demi keamanan dan pengikisan oleh air, makamnya dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikuray oleh Raden Acap Kartadilaga pada 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang. Kuburannya terletak di luar bangunan utama tempat penziarahan, persisnya di bawah pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan. Perang Talaga Melawan Demak pada Masa Pemerintahan Arya Kikis Sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putra kedua Ratu Parung pada 1550 M. Arya Kikis adalah seorang narpati dan pendakwah Islam yang handal. Ia mewarisi ilmu-ilmu kanuragan dan keislaman dari Sunan Gunung Jati. Salah satu cucunya adalah penguasa Cianjur, yakni Raden Aria Wiratanudatar (Dalem Cikundul). Diawali dangan ikut campur Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan di sisi lain kondisi rakyat Talaga begitu memerlukan perhatian pemerintah, akhirnya permintaan Cirebon-Demak untuk menarik upeti dari Talaga diabaikan. Merasa tak dihiraukan, koalisi pasukan Cirebon-Demak tiba-tiba menyerang Talaga. Terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan pasukan Cirebon dan Demak. Di medan jurit, walau prajurit-prajurit Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibandingkan jumlah serta kekuatan Cirebon-Demak, namun pasukan Talaga dengan penuh semangat terus mengadakan perlawanan. Akhirnya semua pasukan Cirebon-Demak dapat diusir ke luar dari wilayah Talaga. Kesepakatan Keraton Ciburang Usai Perang Talaga ini, Kanjeng Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah memerlukan untuk datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga. Kedatangannya malah disambut dengan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat Talaga serta Galuh Singacala. Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh raja-raja Galuh beberapa waktu sebelumnya, Kanjeng Sinuhun Cirebon berucap: bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah, tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit.
Terjadi Perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak. Kemudian Syarif Hidayatullah mengizinkan Pangeran Arya Kikis untuk bertafakur di kampungnya, yaitu Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami Islam. Sementara itu Kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri; ada pun kepemimpinannya diayomi oleh Sunan Gunung Jati. Ada pun Sunan Wanaperih memunyai enam orang anak, empat orang putra dan dua orang putri. Mereka adalah: Dalem Kulanata Maja; Dalem Cageur Darma; Raden Apun Surawijaya; Nyi Ratu Radeya; Nyi Ratu Putri; Dalem Wangsagoparana.
Pemerintahan Raden Apun Surawijaya Raden Apun Surawijaya memerintah Talaga sepeninggal ayahandanya, Arya Kikis, pada 1590. Ia seorang narpati Talaga yang gagah mandraguna dan sangat mencintai dan dicintai para pembantunya. Kegagahan dan wibawanya ditakuti lawan. Makam beliau terdapat di Kampung Lemah Abang, Desa Cikeusal, Kecamatan Talaga-Majalengka. Raden Apun Surawijaya alias Sunan Kidul memunyai empat orang putra, yaitu: Dalem Salawangi; Sunan Cibalagung (Cianjur); Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy); Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje). Ketika masa pemerintahan Raden Apun Surawijaya, Kerajaan Talaga sudah dibawah kekuasaan Cirebon. Meski demikian Sang Narpati Talaga tetap setia dan patuh pada “Kesepakatan Ciburang” yang telah dibuat oleh para pembesar Talaga maupun Cirebon. Agama Islam dan perasaan satu nenek moyang merekatkan tali persaudaraan dan kekeluargaan kedua kerajaan tersebut. Sebagai seorang penguasa, Raden Apun Surawijaya berhasil meningkatkan kesejahteraan para petani. Pada masanya berbagai bendungan irigasi dibangun. Pemerintahan Raden Arya Adipati Surawijaya Raden Arya Adipati Surawijaya (Sunan Ciburuy), putra ketiga Raden Apun Surawijaya, menjadi raja Talaga menggantikan ayahnya pada 1635 M. Raden Arya Adipati Surawijaya dalam melaksanakan tugas pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria Paningsingan, seorang senapati yang gagah dan berani. Ia menikah dengan Ratu Kartaningrat, adik Sultan Panembahan Kasepuhan Cirebon. Dari hasil pernikahan tersebut, Raden Arya Adipati Surawijaya dikaruniai lima orang putra dan satu orang putri, yakni:
1. Pangeran Adipati Suwarga;
2. Pangeran Jayawiriya;
3. Pangeran Kusumayuda;
4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje, Subang);
5. anonim;
6. Ratu Puteri Tilanagara.
Pemerintahan Raden Adipati Suwarga Selanjutnya Raden Arya Adipati Surawijaya digantikan adalah putra pertamanya, Pangeran Adipati Suwarga, yang naik tahta pada 1675 M. Pangeran Adipati Suwarga menikahi dua orang istri: Ratu Losari Cirebon dan Nyi Mas Jitra dari Nunuk (Cengal). Dari pernikahannya dengan Ratu Losari, Pangeran Adipati Suwarga dikaruniai Pangeran Aria Sacadilaga, sedangkan dari Nyi Mas Jitra dikaruniai putra Pangeran Adipati Wiranata. Talaga Menjadi Dua Kerajaan Ketika Pangeran Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga tahun 1715 M. muncul protes dari putra Pangeran Kusumayuda yang bernama Pangeran Natadilaga. Natadilaga merasa berhak untuk menjadi narpati Talaga. Melihat kondisi demikian, para sesepuh Talaga segera mengadakan musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus dibagi dua, yakni:
1. Kesultanan Talagakidul, dipimpin oleh Adipati Wiranata;
2. Kesultanan Talagakaler, dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.
Ketika itu pula disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin kabupatian yang meliputi: Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putra ke-3 Pangeran Adipati Wiranata; Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, cucu Pangeran Arya Natadilaga; Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putra ke-4 Pangeran Adipati Wiranata; Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, cucu Pangeran Adipati Jayawiriya. Keempat bupati dari empat kabupatian Talaga itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena dalam satu masa bersama-sama mengurus Talaga. Penggabungan Kabupatian Talaga dengan Kabupatian Sindangkasih Pada awal bada ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda, tepatnya pada 1806, menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu kabupatian (kabupaten) dengan bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun kemudian, yakni 1818 Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka yang dikenal sekarang. Sesuai dengan rencana Hindia Belanda, pengggabungan dua kabupaten itu mengharuskan bupati pindah dari Talaga ke Majalengka.
Pangeran Sacanata II sebagai Bupati Majalengka ketika itu menolak untuk meninggalkan Talaga dan akhirnya dipensiunkan oleh Belanda dengan hak jasa pensiun sebidang tanah sawah selebar lima puluh bahu. Dengan demikian Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat julukan Bopati Panungtung Talaga. Pengubahan Status Bupati Talaga Menjadi Sesepuh Talaga Karena sejak pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun (leluhur) Talaga. Disepakatilah bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang memunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II dari pihak anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada maka pihak perempuan pun diperbolehkan asal jika memunyai anak laki-laki maka pengurusan benda pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki.
Berikut adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para sesepuh Talaga:

  • Pangeran Sumanagara (1820-1840), putra sulung Pangeran Arya Sacanata II; 
  • Nyi Raden Anggrek (1840-1865), putri Pangeran Sumanagara; 
  • Raden Natakusumah (1865-1895), putra Nyi Raden Anggrek; 
  • Raden Natadiputra (1895-1925), putra Raden Natakusumah; 
  • Nyi Raden Masri’ah (1925-1948), putri Raden Natadiputra; 
  • Raden Acap Kartadilaga (1948-1970), suami Nyi Raden Masri’ah; 
  • Nyi Raden Mardiyah (1970-1993), putri Daden Acap Kartadilaga; 
  • Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993-2001), putra Nyi Raden Mardiyah (menurut keturunannya: Nyi Raden Madinah); 
  • Raden Abung Syihabuddin (2001-sekarang), putra Raden Oo 
  • Mohammad Syamsuddin (menurut keturunannya: adik bungsu Raden Oo Mohammad Syamsuddin).

2 comments:

  1. Punten tiasa janten narasumber? Kumargi abi nuju peryogi iber ngeunaan karajaan talaga manggung

    ReplyDelete
  2. Htr nuhun parantos nambihan pangalaman sejarah

    ReplyDelete

© 2015 SISTEMBloggertheme|Powered by Blogger.